Ridlo Ba'da Qodlo [Proses Menulis 12]

"Syirik itu penghalang seseorang masuk surga. Ia juga yang menjadi penyebab utama seorang disiksa dari neraka. Seberapapun besar amal seseorang tapi kalau disertai dengan syirik, ia tak akan menjadi penolong bagi pelakunya di hari perhitungan kelak. Karenanya, kita harus hindari perbuatan syirik sekecil apapun", begitu terlontar kata-kata itu dari seorang ustadz yang cukup terkenal di desa tersebut. Aku sendiri sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh ustadz yang berawakan pendek, gemuk dan sedikit jenggot yang menggantung di dagunya.


Akupun jadi ingat dengan buku milik Ibnu Qoyyim Al Jauziah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Obat Penawar Hati (kalau ndak salah sih). Di sana ada satu doa yang dilantunkan oleh Rasulullah. Doa yang sangat panjang yang di dalam doa itu Rasulullah memadukan 2 kenikmatan di akhirat dan kenikmatan di dunia. Di bagian doa itu Rasulullah juga berucap,"Allohumma inni asaluka ridho ba'da qodlo, ya Allah aku mohon kepadMu keridloan setelah kejadian"
Dalam buku tersebut, Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa keridloan yang ada manfaatnya adalah keridloa setelah kejadian. Sedangkan keridloaan sebelum kejadian hanyalah keinginan atau semangat untuk ridlo, belum ridlo yang sebenarnya. Waduh agak mbulet ya? Ok, begini kongkritnya.

Ada seorang ihwan ingin menikah sama seorang akhwat. Ketika ditanya apa kriteria akhwat yang dipilihnya. Dia hanya menjawab,'pokoknya tujuan saya beribadah hanya tiga, yaitu menjaga farji atau kemaluan, lebih memudahkan saya menjaga pandangan dan tujuan utamanya adalah beribadah kepada Allah'. Hanya tiga itu yang diungkapkan.
Atau biar lebih mudah lagi, gambarannya begini: Ada seorang ikhwan yang mau menikah dengan seorang akhwat. Pilihan atau kriterianya hanya satu si akhwat yang hafal Al Qur'an. Ketika ditanya, wajahnya? Ia menjawab bukan menjadi prioritas. Ketika ditanya, tempat tinggalnya? Dia juga menjawab bukan prioritas.

Akhirnya kedua ikhwan itu dicarikan akhwat yang sesuai dengan apa yang dikatakan. Ketika yang pertama disodori akhwat yang sesuai dengan kriterianya, hanya karena kurang kecantikannya (yah, misal nilainya 7,5 di atas rata-rata), si ikhwan ini menolak. Demikian juga dengan ikhwan yang kedua. Ia juga menolak bahkwa dia tidak memberi alasan dan jawaban apapun terhadap akhwat yang ditawarkan bahkan secara diam-diam dia telah menikah dengan akhwat yang lain, yang tempat tinggalnya lebih dekat dengannya. Ini menunjukkan bahwa ucapannya bahwa dia tidak memilih kriteria cantik untuk akhwat yang akan dinikahinya hanya semangat untuk ridlo aja belum berbentuk ketidloaan. Terbukti ketika dia disodori akhwat yang tidak secantik apa yang ada dalam bayangannya meski kriteria yang lain telah terpenuhi ia tetap menolak.
Sudah jelas kan sekarang gambaran ridlo setelah kejadian dan sebelum kejadian. Tapi kalau masih bingung, ini ada penjelasan yang lebih mudah lagi.
Ada seorang yang ditawari jihad ke Suriah. Dengan semangat dan gagahnya dia menjawab,'Aku mau'.
Ketika tes psikologi dilakukan, dia ditanya,'Sudah kamu pikir benar resiko jihad di sana?'
"Sudah, Akhi. Saya tahu betul. Kalau tidak membunuh, terluka ya dibunuh"
"Ya, betul. Dan kamu sudah siap?"
"Siap!", dengan tegas ia menjawab.
Beberapa saat kemudian dia diberangkatkan ke Suriah. Dan apa yang menimpa dirinya di luar dugaannya. Dia terkena ranjau, mukanya rusak, tangan dan kedua kakinya harus diamputasi. Kalau dalam keadaan seperti tadi dia masih semangat berjihad dan tidak mengeluh atau menyesal telah berangkat jihad berarti dia memang ridlo ba'da qodlo. Sebaliknya kalau dia menyesal, putus asa dan menyalahkan takdir berarti dia tidak ridlo ba'da qodlo tapi hanya punya semangat untuk ridlo.

Lalu bagaimana dengan kita?
Ya, kita hampir setiap hari mengatakan rodlitubillahi rabban, wa bil islamii diinan wa bi muhammadin nabiya warasuulan....Berarti setiap hari kita mengucapkan bahwa kita ridlo Allaoh sebagai Rabb kita, Nabi Muhammad sebagai utusan Nya dan islam sebagai agama kita. Tapi apakah kita benar-benar telah ridlo? Yuk kita muhasabah, instropeksi diri.

Ridlo kepada Allah mempunyai konsekuensi. Salah satu konsekuensinya adalah kita tidak menyekutukan Allah. Yups...Tentu! Mungkin Anda akan mengatakan seperti itu. Ya karena Anda belum menemui tantangannya.
Banyak diantara manusaia yang mengatakan bahwa dirinya tidak akan menyekutukan Allah. Tapi pada suatu saat ketika ada saudaranya atau dirinya sakit keras dan berbagai dokter telah dia datangi tapi tak juga sakitnya sembuh. Pada saat penderitaan yang memuncak tiba-tiba saja ada yang menawari dia untuk berobat ke dukun atau para normal, maka dengan tidak keberatan dia mau. Nah, pada saat inilah terbukti bahwa dia belum ridlo ba'da qodlo. Ia baru mempunyai semangat untuk ridlo. Tapi giliran semangatnya dihadapkan pada sesuatu yang menjadi konsekuensi logis dari keridloan ia justru melakukan yang bertentangan dengan ridlo itu sendiri.

Karena ridlo setelah kejadian merupakan satu hal yang sangat penting dalam kehidupan Rasulullah mencontohkan untuk senantiasa berdoa meminta keridloan setelah kejadian, atau keridloan ba'da qadlo.

(Tulisan ini terinspirasi tulisan mas Lulut Basuki di http://alumnismpnprambanan86.blogspot.com/ ketika sampai pada kalimat: ........sampai-sampai ketika heboh dukun tiban cilik Ponari pun dimintai tolong..... tiba-tiba muncul inspirasi membuat tulisan. Terima kasih Elbe Cinta Nusantara)



posted under |

0 comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home

Popular Posts


Komentar Terbaru